Kerap kali saya mendengar kalau-kalau yang ditengarai sebagai aktivis adalah yang menggabungkan keduanya, akademik dan organisasi. Anggapannya seperti itu, tapi, barangkali tidak demikian adanya. Nampaknya, kata itu mulai tereduksi bahkan dipelintir hingga melangkah ke arah hilang arti, hilang api. Sebelum terlanjur menggabungkan kedua hal itu dan lantas diklaim sebagai aktivis, perlu mengurai lebih awal, apakah yang dimaksud dengan organisatoris? Apakah mereka yang menghabiskan waktu di labiring jalan sambil meneriaki setiap cewek yang lewat dan malamnya dihabiskan nongkrong di warkop serta dengan pede tidak masuk kuliah dengan dalih bahwa kesemua itu adalah semu? Ataukah mereka yang menyerahkan sepenuh waktunya untuk mengkadali mahasiswa baru dengan dan menganggap membaca buku hanyalah pantas bagi mereka mahasiswa tak mampu secara finansial?
Juga, bagaimanakah kriteria mahasiswa akademisi, apakah mereka yang terus-terus kuliah tanpa sedikitpun melek masalah masyrakat? Ataukah mereka yang terpenjara pada gedung berlantai semata dan dilumuri peraturan dan administrasi yang membingungkan, melelahkan dan tak menghasilkan? Kedua hal di atas mesti dikritisi terlebih dahulu, jika selama ini sudah ada kesepakatan secara kebiasaan ataukah standarisasi perguruan tinggi, namun dicuragai hambar makna serta tidak berimplikasi pada perkembangan keilmuaan dan kemanusiaan, redefensi mungkin bisa dilakukan. Tidak apa-apa, insya allah tidak berdosa, selama untuk kebenaran dan kebaikan. Hehe. Santai.
Saat ini, yang menami diri aktivis bisa ditemui di banyak situasi dan keadaan; aktivis jalanan, adalah mereka yang memprotes kebijakan pemerintah dengan berbagai cara, ada yang dengan pakaiaannya, megaponnya dll. Perlu dicatat, bahwa ada beberapa anak jalanan: gembel jalanan, mereka yang terlantar akibat kemiskinan individu pun kemiskinan akibat sistem dan hukum (Traktat, putusan hakim (yurisprudensi), doktrin (pendapat pakar yang memabukkan) dll.) yang dilanggengkan oleh pemerintah dengan cara halus; seniman jalanan, mereka yang dengan kreatifitas menyuarakan kemanusiaan; kelompok anarkis. Dan masih ada beberapa yang jika ditilik lebih jauh.
Selain itu, ada juga aktivis parlemen, yaitu mereka para mahasiswa yang mengandalkan jabatan, biasanya untuk memajaki “anak-anak DPR-an” atau suatu instansi yang kecolongan kasus dan meminta ditutupi, kalau tidak, ia panggil massa dan biasanya mereka akan menjadi pelanjut dari yang dipajaki. Tapi, sebentar, peristiwa 98 bukankah ia adalah gerakan mahasiswa yang kemudian menjatuhkan rezim Suharto dalam hal ini mahasiswan juga? Ia, sebagian, dan pascanya, sebagian lagi mendahului yang lain untuk duduk di parlemen menggantikan rezim, pergantian status aktivis jalanan ke aktivis parlemen.
Nah, terakhir yang mulai berekecambah di kalangan mahasiswa yaitu aktivis kondangan, adalah mereka yang dengan kesiapan tempur massif untuk mendatangi tempat helatan acara; makan dan dandan. Hehe, perlu juga sih sesekali. Refreshing serta silaturahim. Tapi kalau sudah keseringan nanti kecanduan lagi.
Catatan kecil diatas, sebetulnya adalah pengalaman bermahasiswa saya sejauh ini serta hasil dari sedikit pengamatan yang mungkin jauh dari keobjektifan. Darinya, saya membatin “ternyata berkumpulnya orang-orang dalam wadah yang dianggap intelektual tidak lantas menjadikan orang-orangnya intelek. Dengan banyak orang dalam satu kelompok, tidak selamanya mengindikasikan orang-orangnya sehat (akal dan hati), bahkan, tak jarang ia justru semakin primitif”.
Penulis: Burhanuddin Ramli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar