Dari tinjauan sejarah, warga Tanre Assona memang sudah sejak lama dikenal sebagai manusia bijak. Sejak Indonesia belum merdeka atau masih dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil, yaitu kerajaan Mattirobulu. Perkembangan berikutnya Tanre Assona berada di bawah pemerintahan Arung (Raja) Padakkalawa, sesuai wilayah belahan sungai bagian barat. Sedangkan sebelah selatan sungai yang membelah wilayah Mattirobulu menjadi Arung Aditta, dan wilayah sebelah timur sungai dipimpin oleh Arung Bua.
Nama Tanre Assona sendiri berarti tinggi matahari, yang jika punya makna ganda. Pertama menunjukkan bahwa warganya selalu ditunggu-tunggu kehadirannya, jika berlangsung rapat kerajaan, walau mereka sering kali datang ketika matahari sudah tinggi. “Rapat tidak akan dimulai jika utusan Tanre Assona belum hadir,” ungkap Muh. Akil Mallawa, tokoh agama Tanre Assona. Menurut Akil, nama TanreAssona bisa juga bermakna negatif, yang berarti bahwa warga Tanre Assona berwatak malas lantaran sering telat datang rapat. “Kesimpulan negatif ini kadang membuat kami kesal,” cetus Akil.
Setelah Republik Indonesia Merdeka, pemerintah membagi Mattirobulu yang berarti memandang Gunung Manarang yang terletak di sebelah timur itu menjadi dua distrik, yaitu Padakkalawa dan Ditta. Pada 1962 Mattirobulu jadi kecamatan, tak lama setelah diresmikannya Kab. Pinrang pada 1960. Kecamatan itu pun terbagi menjadi tiga desa, yakni Manarang, Aditta dan Padakkalawa. Di Desa Manarang terdapat pohon yang hanya ada di daerah itu, pohon itu bernama Pohon Palopo yang batang kayunya sering menjadi bahan hulu keris. Keris yang gagangnya dari pohon tersebut hanya digunakan oleh para bangsawan.
Lalu Desa Padakkalawa mekar menjadi empat desa, yaitu Desa Marannu, Desa Bunga, Desa Padaelo, serta dua keluruhan, yaitu Kelurahan Padaidi dan Marannu. Hingga kini, Desa Padakkalawa sebenarnya berada dan diambil namanya dari Desa Bunga tadi. Dimana Desa Padakkalawa yang berarti pembajak atau petani, yang sesuai dengan rata-rata pekerjaan warga di sana. Tanre Assona kembali muncul namanya di Padakkalawa setelah pembagian empat desa itu, setelah tenggelam sejak kemerdekaan RI.
Awalnya, nuansa spritual di Tanre Assona datar-datar saja. Masih jarang warga yang peduli terhadap agama, spritualitas waktu itu adalah milik pribadi-pribadi yang tak mesti dikembangkan dan didiskusikan. Baru setelah kedatangan La Harrang pada tahun 1930-an, kehidupan agama di dusun yang terkenal dengan hasil pepaya-nya itu mulai mekar bak semerbak bunga.
Keberadaan tamu yang berasal dari Wata Sawitto itu membuat iklim spritualitas di Tanre Assona tiba-tiba berubah. Masyarakat mulai melaksanakan shalat berjamaah, tidak bermain judi, dan berhenti minum-minuman keras. “Warga sangat kagum kepadanya, karena ia sangat paham agama Islam padahal beliau tidak pernah menginjak bangku sekolah,” ungkap Muh. Syatir (35) Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Padakkalawa. Bagi warga Tanre Assona, La Harrang adalah wali yang membawa cahaya kebenaran.
La Harrang wafat pada tahun 1969, tak lama setelah ia mulai membangun Mesjid Attaqwa. Sepeninggalnya, ajarannya tetap setia dijalankan oleh warga desa, pimpinan agama kemudian beralih ke La Hami yang meninggal pada 1981. Murid-murid angkatan pertama maupun selanjutnya itu kemudian membiakkan budaya Islam di daerah ini, sehingga pada akhirnya daerah ini disebut sebagai basis percontohan penegakan syariat Islam di Kab. Pinrang. “Lantaran banyaknya orang yang pintar agama di Tanre Assona, dusun ini pun dinamakan Kampung guru,” ujar H. Andi Ramli Halik, Kepala Desa Padakkalawa.
Imbas dari spritualitas dan iman itu adalah meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap budaya bersih dan sehat. Hal ini sesuai dengan salah satu semboyan agama Islam ‘bersih adalah sebagian dari iman’. Di Tanre Assona, tak ditemukan lagi rumah warga yang tak memiliki water closed. Sudah digalakkannya Jumat bersih, adanya program kebersihan para pelajaran agama Islam. Tentunya hal ini akan memudahkan tim kesehatan untuk memberi penyuluhan medis ke warga Tanre Assona.
Dari cerita ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa budaya masyarakat lahir dari keberagamaan, sedangkan prilaku sehat masyarakat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat setempat.
Tulisan ini diperuntukkan untuk Buku “Episenter Pandemi Influenza di Pinrang”
Kerjasama UNICEF dan Kabupaten Pinrang
Catatan Desaku
Dilansir bontocino.kaizen.blogspot.com
Senin, 23 September 2019

Home
kampung guru
kecamatan mattirobulu
padakkalawa
Sejarah
Tante Assona
Sejarah Kampung Guru, Kecamatan Mattirobulu
Sejarah Kampung Guru, Kecamatan Mattirobulu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar