Kisah Singkat Kerajaan Alitta dan Legenda Bujung Lapakkita - Lentera Kumuh

Breaking

Sabtu, 05 Oktober 2019

Kisah Singkat Kerajaan Alitta dan Legenda Bujung Lapakkita



Penulis: FIRMAN
Pimdes Padaidi Gerakan Mahasiswa Mattirobulu


Singkat cerita, ketika Raja Gowa Tunipallangga Ulaweng ke Alitta, Suppa dan Sawitto dengan maksud ingin menguasainya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1566 M. saat Karaeng Tunippllangga Ulaweng kembali ke kerajaan gowa, dia membawa seorang anak kecil yang bernama La Massora. Dia membesarkan La MAssora bersama anak bangsawan lainnya. Bahkan saat raja Gowa memeluk agama islam pada tahun 1204 M, La Massora ikut mengucapkan dua kalimat syahadat sekitar tahun 1603.

Suatu hari La Massora mendengar kabar bahwa ibunya wafat, sehingga dia memutuskan untuk kembali dan menetap di Alitta. Seperti umumnya bangsawan Bugis-Makassar, La Massora mempunya hobbi berburu ketika menetap di Alitta. La Massora semakin sering masuk ke hutan untuk berburu, setiap La Massora berburu, dia ditemani anjing hitam kesayangannya. La Massora juga sering ditemani kakek tua yang hobbinya berburu ayam hutan.

Dalam lontara Alitta, setiap malam jumat La Bolong (Anjing peliharaan La Massora) tidak pernah pulang ke kerajaan, barulah ketika malam sabtu La Bolong baru kembali. Anehnya La Bolong selalu pulang dengan aroma harum dan itu sudah berlangsung selama beberapa pecan sehingga membuat ia penasaran. Hal ini pun disampaikan kepada para penjaga dan masyarakat Alitta, Lato-lato’e pangonrang manu kale’na La Massora (Penjaga ayam hutan La Massora) mendengar suara ana’dara (Perempuan) beserta percikan air dan gonggongan anjing. Rasa penasaran pun menggerakkan ia melangkahkan kaki untuk mencarinya. Ketika dia menemukan asal suara itu, ia melihat tujuh perempuan “dalam lontara Alitta dituliskan anak bidadari” sedang mandi dan bermain dengan La Bolong. Tempat itu dinamakan bujung pitue “Tujuh buah sumur seperti piring makan.

Setelah yakin dengan apa yang dilihatnya di hutan serta keberadaan anjing baginda raja, dengan wajah kaget ia segera ke istana kerajaan alitta untuk melaporkan kepada raja. Mendengar kabar itu, La Massora raja Alitta pun jadi penasaran, apakah karena menghilangnya anjing kesayangannya setiap malam jumat hingga hari jumat sore baru kembali ada kaitannya dengan para bidadari tersebut, apalagi setiap anjingnya pulang ia mencium bau yang sangat harum, La Massora pun memutuskan menyelidiki hal tersebut.

Pada malam Jumat berikutnya,La Massora tidak lagi melepaskan anjingnya. Keesokan harinya pada hari Jumat dengan didampingi Lato-lato’e dan La Bolong anjing kesayangannya masuk ke hutan untuk membuktikan cerita itu tentang anak bidadari dan anjingnya. Mereka segera menuju ke tempat Lato-lato’e menemukan bidadari tersebut.

Sesampainya disana, mereka segera mencari tempat persembunyian yang aman. Ketika matahari tepat di atas kepala kabutpun turun menyelimuti tempat itu. Tidak lama kemudian turun bianglala dan muncullah tujuh orang bidadari yang cantik jelita. Setiap bidadari segera menuju satu sumur dan segera mandi. Para bidadari itu bermain dan bercanda sambil mandi. Tercium bau harum semerbak di sekitar tempat itu.

Melihat kedatangan bidadari, maka anjing La Massora mulai gelisah. Akhirnya, Baginda melepaskan anjingnya untuk melihat apa yang akan dilakukannya. Ternyata, anjingnya berlari menuju ke anak bidadari itu mandi. Ketujuh anak bidadari itu nampaknya tidak asing dengan anjing sang raja, sehingga kedatangannya disambut gembira. Bahkan ikut bermain bersama tujuh bidadari yang jelita dan sesekali menggonggong. Dalam hati La Massora berkata “pantas setiap kali anjingku pulang setelah menghilang pada malam jumat, baunya sangat harum, ternyata berasal dari bau para bidadari”.

La Massora terus memperhatikan tingkah laku anjingnya bersama sang bidadari tanpa berkedip. Tiba-tiba berkatalah bidadari yang sulung kepada adik-adiknya “mandilah kalian cepat, saya mencium bau manusia di tempat ini”. Maka merekapun bergegas mengenakan pakaian masing-masing. Sedangkan si bungsu karena begitu asyiknya mandi dan bermain. Kesempatan itulah yang digunakan La Massora untuk mengambil pakaian bidadari yang bungsu. Sementara itu bianglala sudah muncul dari keenam bidadari lainnya segera menuju kesana untuk kembali ke khayangan.

Setelah puas mandi, maka bidadari bungsupun segera mencari pakaiannya. Alangkah kagetnya bidadari itu karena pakaiannya sudah tidak ada. Diapun jadi panic setelah menyadari kakak-kakaknya sudah tidak ada, bidadari bungsu ini melihat kakaknya sudah berada di bianglala untuk kembali ke kayangan. Maka bidadari bungsu menangis dan berteriak sekeras-kerasnya memanggil kakaknya. Namun, keenam kakaknya tidak bisa membantunya karena bianglala itu sudah bergerak kembali ke kayangan. Sementara itu La Massora pun secepat kilat melompat menangkap sang bidadari yang terus meronta-ronta ingin melepaskan diri. Akhirnya, bidadari itu hanya pasrah dan tidak bisa berbuat apa-apa karena bianglala dan kakaknya sudah menghilang.

La Massora memerintahkan kepada seorang pengawalnya untuk segera kembali ke kampung untuk menyampaikan kabar gembira ini ke rakyat kerajaan Alitta. La Massora menitip pesan agar rakyatnyaagar mempersiapkan acara penyambutan untuk bidadari. Maka tua, muda, laki-laki, perempaun, orang dewasa, anak-anak, segera mempersiapkan acara penyambutan untuk bidadari. Mereka membawa Gong, gendang, kanci, bessi banrangngeng, weroni, titi lagoni, parametti dama, lanra pattola dan lain-lain.

Setibanya di tempat bidadari, merekapun segera melaksanakan upacara penyambutan. Mendengar bunyi-bunyian yang biasanya juga diperdengarkan saat upacara di kayangan, hati bidadaripun jadi tenang. Selanjutnya La Massora bersama rombongan mengarak bidadari itu menuju istana kerajaan Alitta.

Sepanjang perjalanan tersebut ada beberapa peristiwa terjadi yang berkaitan dengan penamaan kampung yang  dilewati. Pada saat melewati sumur La kempung, rombongan singgah istirahat. Tempat ini kelak dikeramatkan oleh Alitta. Melanjutkan perjalanan, kembali rombongan singgah di sumur CACAE untuk melepaskan dahaga. Setelah perjalanan dilanjutkan. Namun ditengah perjalanan tiba-tiba sang bidadari merajuk tidak mau melanjutkan perjalanan. Dia teringat dengan kakak-kakaknya yang telah kembali ke kayangan. Agar bidadari itu mau melanjutkan perjalanan, maka rombongan saling berpegang tangan untuk menghalau bidadari agar mau berjalan. Oleh sebab itu, tempat ini kemudian dinamakan “Wala-Walae” yang berarti memagari dengan tangan. Karena terdesak, bidadari ini pun berjalan kembali. Namun setelah perjalanan agak jauh barulah dia mau berjalan tanpa dihalau. Rombonganpun akhirnya melepaskan tangan, maka kampung ini dinamai kampung “pallereang” yang artinya ‘melonggarkan’. Setelah meninggalkan kampung pallereang menuju kea rah utara. Sesampainya di sebuah sungai, kembali sang bidadari menolak berjalan ia hanya berdiri dan tidak mau bergerak “Majjojjo” sehingga dinamailah tempat itu Lajojjorang. Perjalanan kembali dilanjutkan setelah sang bidadari sudah bersedia berjalan. Namun setelah sekian lama, sang bidadari berhenti dan meminta agar rambutnya disisir. Maka tempat itu dinamai “Lamajjakka” yang berarti “bersisir”. Setelah rambutnya disisir barulah sang bidadari mau berjalan kembali. Tiba di suatu tempat pengawal La Massora menancapkan sebatang besi ke tanah (bessi benrangeng), maka dinamailah tempat tersebut kampung “Labessi”. Besi dalam bahasa Bugis disebut bessi. Selanjutnya, rombongan kembali melanjutkan perjalanan menuju istana.

Berhubung sudah dekat pemukiman, maka La Massora memerintahkan rombongan untuk memakai pakian berwarna merah untuk melaksanakan upacara penyambutan. Oleh sebab itu, tempat ini dinamai kampung “ejae” yang artinya “merah”.  Setelah pemukiman semakin dekat, tiba-tiba bidadari kembali menolak untuk melanjutkan perjalanan, karena sudah pemukian maka mulailah dibunyikan “genrang tallu” ternyata setelah mendengar bunyi genrang tallu tersebut dia mau berjalan kembali. Genrang tallu biasa dibunyikan pula pada upacara-upacara di kayangan, maka dinamakanlah tempat itu sebagai kampung “Laganrang”. Sampailah rombongan di suatu tempat menurun, sehingga dari jauh dapat dilihat kedatangan rombongan La Massora yang membawa sang bidadari,karena itu tempat itu dinamai kampung “Solo rengnge” karena rakyat kerajaan Alitta “Massolo” menyambut kedatangan bidadari. Massolo dalam bahasa buugis artinya mengalir. Tiba di pinggir pemukiman, rakyat kerajaan Alitta segera mengerumungi sang bidadari. Mereka ingin melihat dari dekat wajah bidadari yang cantik jelita. Oleh sebab itu, tempat tersebut dinamai kampung “Lapakkita” yang berarti melihat, karena dikerumuni oleh banyak orang, maka sang bidadaripun kembali berjalan. Namun, sang bidadari mengajukan satu permintaan yaitu agar dibuatkan sebuah sumur di tempat tersebut. Maka dibuatkanlah sang bidadari sebuah semur dank arena semur itu dibuat di kampung “Lapakkita” maka disebut “sumur lapakkita”. Setelah dibuatkan sumur untuknya, maka dia mulai berjalan.

Sumur Lapakkita hingga saat ini masih dikeramatkan. Pada hari senin dan kamis masih ada masyarakat yang berziarah, adapun melaksanakan nazarnya. Sumur Lapakkita ini tetap berisi air walaupun musim kemarau dan sumur disekitarnya mulai kering. Akhirnya, tibalah rombongan di istana. Selanjutnya, disiapkan acara pernikahan antara La Massora dengan bidadari. Kepada sang bidadari diberikan nama We Bungko karena dia paling muda atau bungsu dari bidadari lainnya. “Bungko” dalam bahasa bugis berarti “bungsu”. Namun ada juga yang menyatakan bahwa nama sebenarnya dari bidadari tersebut yaitu We Cudai. Dari pernikahan La Massora dengan We Bungko atau We Cudai lahirlah seorang putera bernama La Baso atau We Wewang Riu. Untuk mengasuh La Baso maka La Massora mempercayakan adik perempuannya.

Pada suatu hari, saat La Massora pergi berburu. La Baso menangis tidak henti-hentinya untuk menenangkan keponakannya, maka diapun menyanyi dengan syair sebagai berikut : “iyo-iyo La Baso, ajammuddaju-raju. Tuwoku mallongi-longi. Aja muddaju-raju. Tengnginangmu tenggaamangmu. Tettana sitekkemu.” Artinya wahai La Baso, janganlah engkau cengeng. Semoga engkau panjang umur, tidak ada ibu. Tidak ada ayahmu.  Tidak ada tanah gegangmu. Mendengar syair lagunya, We Bungko tersinggung. Ia merasa iparnya sengaja menyindir dirinya. Maka dia mengatakan bahwa “saya tahu bahwa di dunia ini saya hanya sebatang kara, tetapi karena takdirkulah sehingga harus berada di dunia ini”. Setelah itu sang bidadari masuk kamarnya. Ia membungkus sekujur tubuhnya mulai ujung kaki hingga kepala.

Sepulang berburu, La Massora mencari istrinya di kamar. Melihat sikap istrinya yang tidak seperti biasanya dengan menyelimuti seluruh badannya, maka La Massora bertanya “Ada apa sehingga dinda seperti ini ?” mengetahui suaminya sudah pulang, We Bungko segera bangun dan menceritakan tentang syair lagu adik iparnya tadi. Ia berkata “benar di dunia ini ia hanya sebatang kara. Tidak ber ibu, tidak berbapak, tidak punya saudara serta berharta, tetapi karena takdirkulah maka harus ku jalani”. Alangkah murkanya La Massora setelah mendengar ucapan istrinya tersebut. Ia segera mencari adiknya untuk menanyakan apa maksud dengan menyanyikan lagu seperti itu. Melihat kakaknya datang dengan raut muka yang sangat marah. Adik La Massora itupun segera melarikan diri hingga tiba di bonto pucu. Ia tidak pernah lagi kembali ke Alitta. Ia wafat disana dan diberi gelar petta Barae.

We Bungko yang terlanjur sakit hati memutuskan untuk kembali ke kayangan. Bertepatan dengan itu turunlah bianglala di hutan tempatnya dulu ditemukan oleh La Massora. Sebelum berangkat ia menitipkan pakaian yang dulu ia pakai saat ditemukan oleh La Massora. Sebelum berangkat ia menitipkan pakaian oleh La Massora. Ia menitip pesan untuk suaminya sebagai berikut: “Tolong sampaikan ke baginda agar menyimpan pakaianku ini sebagai pengganti diriku dan aku titipkan La Baso kepadanya!”.  Setelah berkata seperti itu, ia segera masuk hutan dengan perasaan penuh kepedihan karena harus meninggalkan suami dan anaknya yang sangat dicintainya. Ia tidak bisa membawa La Baso ke kayangan karena ayahnya La Baso manusia biasa. Setelah tiba di hutan ia segera menuju ke bianglala yang akan membawanya kembali ke kayangan. Sementara itu, La Massora yang telah pulang mencari adiknya, tidak menemukan istrinya. Ia sudah mencarinya ke seluruh bagian bagian istana. Tidak seorangpun berani menyampaikan ke baginda raja. Setelah La Massora bertanya barulah berani menyampaikan kejadiannya. Tidak lupa menyampaikan pesan We Bungko kepada baginda. Betapa sedih hati La Massora mendengar kabar tersebut.

Setiap hari La Massora ke hutan tempat dia menemukan We Bungko dahulu. Ia berharap bisa bertemu kembali dengan We Bungko. Namun hanya kekecewaan yang diperolehnya, karena para bidadari itu tidak pernah lagi datang. Hingga suatu malam, La Massora bermimpi didatangi oleh We bungko berpesan agar La Massora tidak lagi mencarinya. Mereka tidak mungkin lagi bersama, ia telah kembali ke kayangan. We Bungko juga berpesan agar La Massora menjaga La Baso baik-baik”. Jika baginda ingin bertemu denganku datanglah ke sumur Lapakkita. Duduklah pada batu disisi sumur Lapakkita, kenakkan pakaian yang berwarna hitam dan topi daun nipa pada siang bolong di hari Jumat” kata We Bungko kepada La Massora. Setelah itu dia menghilang dan La Massora terbangun. Betapa gundah hati La Massora karena ia tahu tidak mungkin lagi berkumpul dengan istrinya.

Setiap jumat di siang bolong, La Massora berangkat ke sumur Lapakkita dengan berpakaian hitam dan bertopi daun nipa untuk bertemu We Bungko. Hingga suatu hari, sang bidadari meminta La Massora untuk tidak perlu lagi mencarinya. Bahkan ia meminta untuk segera mencari istri yang baru dari kalangan manusia. Sejak itu, sang bidadari tidak pernah lagi menemui La Massora. Maka La Massora mengantar La Baso ke kerajaan Gowa. Ia mau menitipkan La Baso ke raja Gowa agar dididik seperti dirinya dahulu.

Bersambung....


2 komentar:

  1. Tingkatkan, masih banyak pembaca yang ingin melihat lanjutannya

    BalasHapus
  2. InShaAllah sementara penelusuran 😬

    BalasHapus