Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) - Lentera Kumuh

Breaking

Kamis, 24 Oktober 2019

Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)

                    


Emha Ainun Nadjib adalah sosok dengan multidimensi kapasitas yang sejak tahun 1970an sampai sekarang memainkan peran kehidupan kebudayaan, kesenian, keagamaan, serta praktik sosial di dalam kemasyarakatan. 
(Halim HD. Networker kebudayaan)

Emha Ainun Nadjib lahir pada 27 Mei 1953 di desa Menturo, kecamatan Sumobito, Jombang, Jawa Timur. Nama "Emha" adalah singkatan dari nama depannya "Muhammad" (Muhammad Ainun Nadjib) yang kemudian menjadi "M.H" atau "Emha". Emha secara kultural dan populer dikenal publik dengan nama "Cak Nun" adalah panggilan atau sapaan akrab khas daerah Jawa Timur untuk menyebut sosok laki-laki, seperti halnya panggilan "Mas" atau "Abang" dalam kultural lain, sedangkan Nun adalah singkatan kata dari "Ainun".

Emha lahir dari pasangan Muhammad Abdul Latif dan Chalimah. Abdul Latif adalah figur ayah teladan bagi Emha dan sekaligus tokoh agama (kiai) yang sangat dihormati oleh masyarakat Desa Menturo. Begitu juga Chalima, ibu Emha, keduanya merupakan tokoh yang sering menjadi tempat rujukan para warga masyarakat desanya untuk mengadukan berbagai permasalahan hidup warga sehari-hari. Keteladanan hidup kedua orang tuanya merupakan faktor paling penting bagi Emha, sehingga kemudian sangat memengaruhi Emha. Sikap dan pandangan-pandangan hidup kemudian memberikan karakter Emha di dalam pemikiran atau karya-karyanya, jelas disokong oleh nilai-nilai keislaman yang diteladankan orang tuanya. Mengenai keteladanan orang tuanya itu, Emha pernah menceritakan agak panjang.
"Ayah saya adalah petani kiai yang mempunyai sebuah surau, tetapi dia adalah pemimpin masyarakat, tempat bertanya dan mengadu orang desa untuk berbagai masalah yang mereka hadapi. Begitu pula ibu saya. Semua masalah yang tidak dapat dapat mereka pecahkan . Bahkan, ketika saya masih dalam buaian, dan kemudian menjadi anak kecil, saya sering kali dibawa ibu mengunjungi para tetangga untuk menanyakan apa yang mereka masak, apakah mereka menyekolahkan anak-anak mereka, dan banyak masalah lain. Pengalaman ini membentuk kesadaran dan sikap saya, dan nilai-nilai kami didasarkan pada agama karena ajaran kunci dalam Islam adalah menolong sesama manusia dari kemiskinan dan membuat mereka mampu berfungsi sebagai manusia seutuhnya".

Ibu Chalimah adalah seorang ibu yang telah melahirkan lima belas anak-anaknya. Emha adalah anak keempatnya. Ibu Chalimah merupakan figur perempuan panutan yang sangat dicintai Emha. Bahkan warga desa sekitarnya pun mencintai ibu Chalimah. Anak-anak, hingga orang tua di desanya, semuanya memanggilnya dengan sebutan "Ibu" tanda hormat dan mencintainya. Ibu Chalimah sebagai panutan warga adalah figur ibu yang memberikan rasa aman maupun kesejahteraan. Banyak memberikan bantuan nasehat dan pertolongan kepada para tetangga dan warga masyarakat lainnya, terutama dalam permasalahan ekonomi.

Sikap kedermawanan sosial hidup ibu Chalimah tersebut oleh Emha sangat dikhayatinya sebagai cerminan dari nilai-nilai keteladanan yang merujuk pada  tokoh sufi dari Irak, Rabiah Al-Adawiyah (713-801). Sikap-sikap keteladanan ibunya itu sebenarnya dipengaruhi atau berasal dari ayah Emha sendiri. Suatu saat, karena ibu terlalu banyak menolong warga, sering kali ibu Chalimah malah tidak menghiraukan kepentingan pribadinya. Kisah menarik ini pernah diceritakan Emha. Yaitu, ketika pengeluaran ibu yang terlalu banyak untuk membantu keperluan warga desa, akhirnya keluarga sendiri mengalami kesulitan ekonomi. Beberapa kejadian yang diceritakan Emha berkaitan dengan sikap ibunya yang " berlebihan" dalam menolong warga itu juga diceritakan seperti ini.
"Ibu saya menjual barang-barang seperti pesawat TV, mebel, sepeda motor dan lain-lain secara kredit karena ia kasihan kepada mereka. Padahal, sebenarnya ia miskin. Ia hanya mempunyai sepasang pakaian, kain batik, dan kerudung. Tetapi, kenaifannya dalam pengelolaan merupakan sesuatu yang luhur bagi kami, anak-anaknya".

Sebagai seorang anak yang dilahirkan di desa pastilah akan berbeda pengaruhnya dengan anak yang dilahirkan dalam latar belakang budaya perkotaan. Emha yang menghabiskan masa anak-anaknya di lingkungan desa telah memperoleh banyak pelajaran hidup secara langsung mengenai kebijaksanaan, berupa nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan dan nilai etos kerja yang melekat pada kehidupan masyarakat di desanya.

Mengenai pendidikan, latar belakang Pendidikan formal Emha dimulai dari Sekolah Dasar (SD) di desanya. Sudah dasarnya semenjak kecil Emha peka terhadap keadilan, hal ini menjadikan ia nekat melompat meja dan menendang guru SD-nya hanya karna dianggap tak berlaku adil. Tentu ini menjadi masalah. Lantas ayahnya mengirimnya ke pondok pesantren Modern Gontor di Ponegoro, Jawa Timur. Pada masa tahun ketiganya di Pondok Pesantren Gontor ini, Emha lagi-lagi membuat masalah. Suatu ketika ia menggugat kebijakan pihak keamanan Pondok yang dianggapnya tak berlaku adil. Emhapun memimpin demontrasi, bersama kawan-kawannya mengajukan protes yang berujung pada dikeluarkannya ia dari pondok. Selepas dari Gontor, Emha dikirim orang tuanya untuk melanjutkan sekolah di Yogyakarta. Setelah itu, Emha kemudian melanjutkan sekolahnya di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta hingga tamat. Selepas SMA, Emha diterima di fakultas Ekonomi UGM. Di "kampus biru" itu, Emha hanya bertahan kuliah selama satu semester, tepatnya empat bulan saja. Semester pertama di UGM adalah akhir dari pendidikan formal Emha. Menurut Jobrahim, meskipun secara formal Emha berhenti studi, ia tidak berhenti belajar dan mencari ilmu. Dengan berbekal kemampuan bahasa Inggris dan Arabnya, Emha gemar membaca dan terus menguak ilmu dalam referensi-referensi akademis Barat maupun dari kitab-kitab kuning.

Kurung waktu antara tahun 1968 hingga 1970an adalah faset penting bagi Emha dalam dunia sastra. Pada faset inilah kemudian menghabiskan kegiatannya dengan hidup menggelandang di jalan Malioboro Yogyakarta. Di lingkungan inilah Emha kemudian tergabung dalam suatu komunitas penulis muda Persada Studi Klub (PSK). Pada tahun 1975, Emha bersama rekan-rekannya mendirikan komunitas Teater Dinasti. Di tahun ini pula antologi puisi tunggalnya M. Frustrasi dipublikasikan dalam bentuk stansilan. Di masa itu Emha giat mempelajari dan memperdalam sastra, serta melibatkan diri dalam berbagai macam aktivitas yang cukup memeriahkan kehidupan sastra di Yogyakarta karena kesusastraan itu bersinanggungan dengan dinamika kehidupan keseniaan, agama, pendidikan politik hingga wilayah ekonomi.

Perihal aktivitas Emha dalam dunia jurnalistik dan kepenulisan, pada tahun 1973 sampai 1976, ia aktif menulis dan malah menjadi wartawan serta redaktur beberapa rubrik Harian Masa Kini Yogyakarta seperti: Seni-budaya, kriminalitas, dan Universitas, pun redaktur tamu di Harian Bernas selama tiga tahun. Esai-esai Emha antara tahun 1977 hingga 1978 (ketika itu Emha berusia 24-25 tahun) bahkan sudah diakui publik akan kualitasnya dan diterima oleh Harian Kompas. Terakhir, kumpulan esainya itu diterbitkan dalam bentuk buku.

Pada tahun 1981 ketika Emha berusia 28 tahun, majalah Tempo telah menerima tulisan kolom-kolom Emha sehingga menjadikannya sebagai seorang kolumnis termuda di majalah itu. Produktivitas Emha yang luar biasa dalam menulis pernah diceritakan oleh Jabrohim ketika melakukan penelitiannya tentang puisi-puisi Emha (1990-an). Katanya, di rumah kontrakannya yang sederhana di Patangpuluhan Yogyakarta, dalam seminggu paling tidak ada enam tulisan yang diselesaikannya. Dan kemudian, secara rutin dimuat di Surabaya Post, Jawa Post, Berita Nasional, Yogya Post, Suara merdeka, dan suara karya.

Pada tanggal 8 Desember 1980, Emha dan Dinastinya pentas di Teater Arena Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan membacakan puisinya yang berjudul "Tuhan". Kemenyatuan Emha bersama Teater dinasti melalui pembacaan puisi dan pementasan drama-teater yang unik pada awal tahun 1980an telah menjadikan sosok Emha semakin dikenal oleh masyarakat sehingga banyak permintaan pementasan dalam berbagai kegiatan, bahkan permintaan dari luar negeri. Pada aktivitasnya di luar negeri ini, tercatat bahwa Emha pernah bergiat pada beberapa kegiatan seperti: lokarya teater multikultural di Filipina pada tahun 1980, bekerja pada bidang sosial di berbagai daerah di Luzon; Internasional Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat pada tahun 1984, dan masih banyak lainnya.

Singkat cerita, pada masa pemerintahan Orde Lama yang dipimpin oleh sang Proklamator, Ir. Soekarno. Pemerintahan Orla ini bertahan selama dua puluh tahun lamanya. Kemudian, setelah kekuasaan presiden Soekarno tumbang, dilanjutkan oleh Soeharto yang jabatannya kepresidenannya paling lama. Selama kurang lebih 32 tahun kekuasaan orde baru berlangsung, Soeharto yang sering dianggap sebagai bapak pembangunan, pada sisi ini memiliki peran tertentu terhadap pembangunan. Namun di lain pihak, akibat pemerintahan orde baru sebagai penguasa yang sangat otoriter dan sentralistik, dengan dipicu oleh krisis ekonomi yang melanda di tahun 1997 serta berbagai persoalan sosial lainnya yang sangat kompleks, maka rakyat pun mulai kehilangan kepercayaan terhadap kepemimpinan otoritarianistik Soeharto. Puncaknya adalah bulan Mei 1998. Di tahun itu terjadilah peristiwa kerusuhan sosial di berbagai daerah dan demontrasi besar-besaran dari kalangan mahasiswa yang menuntun Soeharto untuk turun dari jabatannya.

Pada tanggal 16 Mei 1998, beberapa tokoh nasional menyelenggarakan sebuah pertemuan penting di Gedung Muhammadiyah Jakarta untuk membicarakan situasi sosial dan politik yang tengah berlangsung. Beberapa nama dari tokoh pada pertemuan tersebut di antaranya adalah: Nurcholish Madjid (Cak Nur), Utomo Dananjaya, A. Malik Fajar, S. Drajat dan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Kesimpulan dari pertemuan itu adalah memberikan saran kepada Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatannya melalui sejumlah alternatif teknis. Saran tersebut dijadikan sebagai pilihan tunggal yang memiliki tujuan untuk meredam konflik nasional. Hasil dari pertemuan itu kemudian dikonferensi-perskan esoknya (17 Mei 1998) di hotel Wisata Jakarta. Dan pada 18 Mei, naskah surat itu diberi judul "Semuanya harus berakhir dengan baik (Husnul Khatimah)". Naskah itu ditanda tangani oleh Cak Nur dan Cak Nun, kemudian disampaikan oleh Saadillah Mursyid (Mentri Sekretaris Negara saat itu) kepada Presiden Soeharto.

Setelah naskah dari rumusan beberapa tokoh nasional itu diterima oleh Soeharto, kemudian muncul kesepahaman untuk mengadakan pertemuan antara lima orang perumus naskah itu dengan Soeharto di Istana Negara. Hal dilandasi dengan kesediaan Soeharto dalam menerima saran para tokoh itu: mundur dari jabatan kepresidenan. Dan disini Soeharto mengusulkan untuk menambah beberapa (empat) tokoh masyarakat (ulama) untuk membicarakan dan merundingkan perihal bagaimana prosedur turun jabatan yang tepat sehingga dapat diterima oleh semua elemen bangsa. Maka, lima orang itu menjadi berjumlah sembilan yaitu Cholil Badawi (Muslimin Indonesia), Ali Yafie (Ketua MUI), Abdurrahman Wahid (Ketua Umum PBNU), A. Malik Fajar dan Sumargono (Muhammadiyah), Ahmad Bagdja dan Ma'ruf Amien (NU), Nurcholish Madjid (Direktur Yayasan Paramadina) dan Emha Ainun Nadjib.

Sumbangan pemikiran Emha beserta tokoh yang lainnya dalam pertemuan di Istana itu adalah gagasan pembentukan Komite Reformasi. Yaitu, sebuah konsep sebagai langkah alternatif untuk menghindari konsekuensi naiknya Habibie yang dianggap khalayak sebagai turunan kekuasaan orde baru. Komite Reformasi ini menurut Emha Adalah semacam lembaga MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) yang bertugas untuk menyusun UU politik dan pemilu dan mempersiapkan penyelenggaraan pemilu selama enam bulan. Komite reformasi ini diwacanakan akan diisi oleh para aktivis dan tokoh-tokoh reformis. Menurut Emha, naiknya Habibie sebaiknya dihindari untuk memperkecil kemungkinan terjadinya perpecahan bangsa akibat perbedaan dukungan rakyat terhadap Habibie. 

Pada tanggal 26 Januari 1999, Emha diundang oleh Soeharto ke kediamannya di Jalan Cendana Jakarta. Pertemuan yang berlangsung selama tiga jam itu di antaranya berisi pembicaraan mengenai tawaran Emha kepada Soeharto untuk berpartisipasi dalam acara "Ikrar Husnul Khatimah" sebagai acara pertaubatan nasional yang direncanakan Emha akan diadakan di Masjid Baiturrahman, kompleks gedung DPR/MPR. Setelah menjelaskan kepada Soeharto bahwa munculnya banyak hujatan dan bahkan rakyat Indonesia tidak mempercayai Soeharto lagi, menurut Emha salah satu jalan yang baik adalah Ikrar Husnul Khatimah. Lalu, Soeharto pun setuju untuk membayar dosanya, dan memastikan mengakhiri sisa kehidupan dengan kebaikan-kebaikan. Kemudian, Soeharto menandatangani empat rumusan yang disebut "Sumpah Soeharto" Rumusan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bahwa saya, Soeharto, bersumpah tidak akan pernah menjadi Presiden Republik Indonesia lagi.
2. Bahwa saya, Soeharto, bersumpah tidak akan pernah turut campur dalam setiap proses pemilihan Presiden Republik Indonesia.
3. Bahwa saya, Soeharto, bersumpah siap dan ikhlas diadili oleh Pengadilan Negara untuk mempertanggung jawabkan segala kesalahan saya selama 32 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia.
4. Bahwa saya, Soeharto, bersumpah siap dan ikhlas mengembalikan harta rakyat yang dibuktikan oleh Pengadilan Negara.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar