BOLANG: Selamat malam, apa kabar?
ALYA: terlalu panjang ini kasus, silessureng! Sekarang masa perang melawan covid-19 dan masa berontak perekonomian, ucapkan yang pendek dan tepat saja, 'MERDEKA' begitu. Pendek, tepat dimengerti dan membangunkan perasaan bertarung.
BOLANG: Memang saya tidak terlalu tahu soal itu silessureng. Tetapi, sudah menjadi kebiasaan saja. Di sekolah rendah dipelajari dan memang selalu diucapkan begitu. Tetapi sekarang, satu, dua kali juga saya ucapkan, "MERDEKA" Kalau berjumpa pengawal di jalan-jalan. Tetapi, terus terang saja, saya sendiri juga belum tahu betul artinya "MERDEKA" itu.
ALYA: Kak Bol, saya pun tak paham betul akan arti perkataan itu. Tetapi contoh ini bisa memberi penerangan. Kau lihat itu burung pipit. Dia bisa terbang kesana kemari, dari pohon ke pohon mencari makan. Alangkah senang hatinya. Dimana ada makanan, dia berhenti makan sambil menyanyi. Kalau hari senja dia pulang ke sarangnya. Itu namanya MERDEKA. Tidak ada kesusahan, selalu riang gembira.
BOLANG: Betul, senang kelihatan dari luar. Tetapi, kelihatan dari luar saja. Belum tentu hatinya sendiri selalu senang. Belum tentu pula burung pipit itu selalu menyenangkan orang lain. Kemerdekaan semacam itu tak begitu memuaskan. kamu lihatkan bagaimana kondisi negara kita sekarang, mungkin banyak masyarakat yang bagian luarnya kelihatan bahagia tinggal di rumah tapi banyak juga seorang pekerja yang menderita karna harus tinggal di rumah.
ALYA: bagaimana tidak memuaskan, silessureng? Bukankah merdeka, seperti burung di udara itu selalu dipuji, selalu diambil sebagai contoh seperti para pemerintah kita?
BOLANG: Tadi saya bilang, belum tentu hatinya burung pipit itu selalu senang. Silessureng Alya meskipun kita punya perusahaan buat hidup sendiri. Tak perlu banyak takut sama ini atau itu. Tetapi, silessurengku jangan lupa burung pipit itu selalu diintai musuhnya. Kucing ialah musuh besarnya. Mungkin Burung elang ialah musuh yang paling besar. Manusia pun bisa sewaktu-waktu menangkapnya atau menembaknya.
ALYA: burung pipit, Bisa ji terbang toh ?
BOLANG: Ya, memang dia bisa terbang. Cuma kemampuannya yang diperoleh dari alam itu saja, yang bisa melindungi jiwanya. Tetapi, mana ada adat atas aturan masyarakat yang melindunginya?
ALYA: Benar juga, Silessureng. Kau memang dari desa, yang masih hidup di alam dan sebagai pecinta alam. Memang, di alam itu aturan yang berlaku adalah besar akan menindas. Tetapi, dalam masyarakatpun begitu juga, toh?
BOLANG: Memang, masyarakat kita juga belum sempurna. Tetapi, jauh lebih sempurna dari bangsa burung atau hewan lain. Barangkali kita, manusia pun, tidak akan sampai kepada masyarakat yang sempurna. Tetapi, kita senantiasa selangkah demi selangkah, bisa menghampiri kesempurnaan.
ALYA: Saya tidak menyangka kau ini seorang ahli retorika, Silessureng. Rupanya kau pura-pura bodoh saja. Tetapi, tunggu dulu! Baik kita kembali ke pokok perkara. Kau sudah terangkan bahwa burung pipit belum tentu selalu berhati senang, karena musuh selalu mengintai. Tidak ada aturan atau adat masyarakat burung yang bisa melindungi masing-masing burung. Tetapi, kau belum terangkan, bagaimanakah burung pipit miskin itu bisa tidak menyenangkan orang lain, bisa menggangu orang lain ?
BOLANG: Memang, burung pipit itu miskin/hina. Tetapi, kalau satu rombongan saja burung pipit itu sampai ke sawah kami, maka mereka itu merdeka pula memusnahkan hasil pekerjaan kami. Dari masa Maluku sampai masa menanam padi, dari waktu padi masih hijau kecil sampai kuning matang, kami mengeluarkan jerih payah dan keringat. Sekarang, sesudah jerih payah kami memperlihatkan hasilnya, datanglah rombongan gelatik yang tidak mengeluarkan keringat setetes pun, dan susah gelisah sedikit pun atas hasil pekerjaan kami tadi. Tetapi, dengan tidak meminta izin lebih dulu, dan tidak malu-malu, mereka bersuka ria, bersenda gurau di atas padi, memilih buah yang matan dan bernas. Bukankah kemerdekaan semacam itu, kemerdekaan orang tidak berusaha, yang merampas hasil pekerjaan orang lain yang mengeluarkan tenaga? Merdeka semacam itu berarti merdeka merampas. Inilah sebenarnya akibatnya kemerdekaan liar itu, benar belaka. Sekarang, saya sendiri dalam kekacauan pikiran. Aku sendiri mau tahu pula, apa MERDEKA yang sebenarnya.
ALYA: Mari kita bertanya kepada mereka yang lebih ahli.
BOLANG: Sini, Zely! Zely, silessureng sudah dengar kami belum lagi mendapat kecocokan tentang arti MERDEKA. Tetapi, saya sudah yakin bahwa MERDEKA itu tidak berarti boleh menjalankan kemauan sendiri, dengan tidak mempedulikan hak dan kemauan orang lain. Bukankah begitu, Alya, inti pembicaraan kita tadi.
ALYA: Memang begitu. Tetapi, siapa dan bagaimanakah cara membatasi kemauan masing-masing orang? Cobalah, Zely kasih pendapatnya!
ZELY: Memang, kemauan liar diri sendiri mesti dibatasi. Di dalam lembaga/organisasi, misalnya, kemauan liar tidak terbatas itu harus dikendalikan ke jalan yang baik oleh pemimpin yang adil dan bijaksana.
BOLANG: Belum terang benar perkataanmu silessureng.
ZELY: Artinya dikendalikan itu ialah diarahkan ke jurusan yang benar untuk masing-masing anggotanya. Kalau anggotanya merusak anggota yang lain, maka dia harus dihukum. Dengan begitu, dia sendiri dan anggota yang lain terbatas atau hilang keinginannya merusak orang lain. Lagipula, kalau lembaga diserang sebuah masalah, maka pemimpin tadi memerintahkan semua anggota yg kuat, sehat dan tentunya bersenjata (Berakal) untuk menyelesaikan masalah.
ALYA: Jadi kalau begitu, memang kemauan merusak atau lari dari masalah, dibatasi atau dibatalkan oleh pemimpin.
PITE: Tetapi, bagaimana kalau pemimpin tadi sendiri mau merusak dan lari dari masalah tanpa melakukan apa-apa?
ZELY: Pemimpin itu mestinya adil, bijaksana, berani, cerdas.
ALYA: Baik kalau kita mendapatkan seorang pemimpin semacam itu. Selama ada pemimpin semacam itu, memang lembaga aman dan makmur. Tetapi, bagaimana kalau pemimpin semacam itu tidak ada? Atau, kalau adik seorang pemimpin atau silessureng yang lain lebih adil, lebih bijaksana dan lebih cerdas mau menjadi pemimpin juga? Tentu muncul perang sesama silessureng, bukan?
BOLANG: Rupanya, kau ini betul seorang ahli jempolan, Alya. Bahkan Socrates sendirinakan bangkit dalam kuburnya mendengarkan pertanyaanmu semacam itu. Memang, keadaan seperti itu sering timbul saat ini.
ALYA: Kembali kita sebentar pada pokok perkara. Pertama, tadi kita mau mengendali kemauan liar seseorang. Si pengendali itu kita namai pemimpin. Tetapi, di belakangnya kita lihat bahwa raja itu manusia juga, sering kali perlu dikendali pula. Memang, susah mencari seorang atau sekumpulan manusia buat mengendali si pengendali itu. Jadi, apa mestinya yang mesti si mengendali kemauan anggota itu, supaya yang dikendali jangan merusak dan si pengendali sendiri jangan merusak pula.
PITE: Sekarang, kita sampai tingkat yang selama kita berunding ini saya simpan saja dalam pikiran saya. Jadi, si pengendali yang amat sentosa itu adalah aturan. Aturan lembaga itulah yang memeriksa atau menghukum anggota yang dianggap salah. Dengan aturan yang sudah ditetapkan itulah, lembaga mesti diperintah. Aturan memimpin lembaga itu kita namai AD/ART.
BOLANG: Jadi, kalau begitu AD/ART itulah yang memimpin, bukan lagi manusia, Aturan itu lebih tetap dari kemauan seorang pemimpin atau kemauan bersama. Boleh diterjemahkan lebih lanjut.
ALYA: Tetapi, siapa yang mesti membuat Aturan dasar itu ?
BOLANG: Iya, benar. Itu kita mau tahu. Siapa yang berkuasa berdaulat buat Aturan dasar itu?
PITE: Dengan kata lain, di tangan siapakah terletak kedaualatan itu? Tadi sudah dibicarakan bahwa kedaulatan itu tidak aman, tak tetap kalau ditaruhkan di tangan pemimpin to' saja. Sekarang mari kita periksa di tangan siapa kedaulatan harus kita taruh supaya cara memimpin itu tetap, tak berubah-ubah menurut perasaan seorang pemimpin, menurut baik atau jeleknya, menurut suka atau marahnya pemimpin saja.
Bersambung.....
Referensi; Tan Malaka, merdeka 100%
Tidak ada komentar:
Posting Komentar