Meresensi adalah kerja memasuki buku secara intens dan memberikan umpan balik atas buku yang dibaca. Namun, meresensi tidak sekedar itu, ada siasat bekerja disana. Resensi adalah tanggapan atas berjalannya macam-macam peristiwa dunia dengan segala kekalutannya. Untuk menanggapi kekalutan itu dunia seperti itu, Ir.Soekarno, pendiri Republik Indonesia di usianya yang ke 40 memilih meresensi buku sebagai cara memberikan tanggapan.
Ya, Bung Karno juga adalah seorang peresensi buku. Namun, bukan untuk mencari uang, apalagi sekedar mencari kemasyhuran. Bukan, dia meresensi buku untuk tahu dan terlibat secara jauh memahami apa yang terjadi dalam perang dunia kedua sepulangnya dari pembuangan politik.
Bung Karno memasuki praktik politik fasisme yang sedang membakar Eropa dengan cara, dalam istilah Soekarno sendiri, "menilik" buku-buku yang membakar soal itu dari penulis-penulis Jerman terkini. Untuk memahami fasisme yang dikobarkan Hitler, Soekarno memilih buku karya Willi Munzenberg berjudul Propaganda Als Waffe. Penulisnya adalah antihitlerianisme.
Bung Karno tergila-gila dengan masa dan raja orator tiada tandingan dalam persada politik kita dalam banyak hal disumbang gaya Hitler. Bung Karno bahkan berkesimpulan, kerongkongan Hitlerlah yang merampas Eropa. Bahkan, salah satu judul esai Soekarno (terbit pertama kali 2016) disumbangkan perkataan Hitler ini: "Gobloklah orang yang mengatakan: sedikit bitjara, banjak bekerdja. Goblok! Orang Jang demikian tidak pernah menindjau ke dalam sedjarah dunia. Semboyan kita harus: banjak bitjara, banjak bekerdja!".
Namun, untuk mendapatkan perspektif baru atas kekalutan Eropa yang dibakar perang, Soekarno menilik buku yang menjadi oplosan atas kerongkongan Hitler. Bukan cuma satu resensi, namun dua tilikan yang dibikin Soekarno hingga ia jatuh pada kesimpulan: kuasa kerongkongan yang dikobarkan Hitler bukan perang ideologi, perang isme, perang paham, melainkan perang antara kebutuhan-mentah dengan kebutuhan-mentah. Perang itu, simpul Soekarno, sekali lagi, antara peperangan belangen kontra belangen, intressen kontra intressen, kepentingan kontra kepentingan. Kepentingan apa? Kepentingan kebutuhan mentah.
Titikan Sukarno itu tajam karna ia memang pembaca yang rakus. Namun demikian, kadang ia bukan pembaca sabar yang harus menyelesaikan sebuah buku baru menuliskan hasil titikannya. Terkadang, dia hanya membacanya sampai sepertiga saja. Ini terjadi saat ia menilik buku tebal ahli filsafat Oswald Sprenger yang (pinjam istilah Soekarno, ditulis "secara Jerman: angker, berat, menjemukan) buku itu berjudul Der Untergang Des Abendlandes. Tapi, dia tetap mau menuliskan tilikannya karena temanya bagus, yakni kejatuhan Eropa dan mengaitkannya dengan peradaban bangsa-bangsa Asia. Jelas, Soekarno mengejar tema-tema buku ketimbang teknis penulisan dan hal-hal yang bersifat teknis fisik buku semisal tipis-tebal sebuah buku. Yang relevan dengan apa yang sedang dia ingin dia ketahui, Bung Karno mengambilnya untuk ditilik. Sekaligus, disitu Putra Sang Fajar ini mengajukan keberatan jika memang tidak menyetujuinya. Itulah yang terjadi saat Soekarno meresensi buku sekaligus dalam sekali jalan. Yakni, buku Ernst Henri bertitel Hitler Over Russia? Dan karya Heinrich Fraenakel berjudul The German People Versus Hitler.
Begitulah Soekarno, dia menilik buku secara serius yang diikat oleh kesamaan tema. Untuk memahami suatu topik, bacalah buku yang memiliki arsiran yang saling mengaitkan yang saling mangait. Tidak hanya dibaca, resensilah, titiklah buku itu. Meresensi buku secara serius, pada akhirnya, adalah ajaran Soekarno.
Gambaran resensi-resensi Soekarno itu kita bisa baca di majalah Pandji Islam bertarikh 1940, "Kuasanja Kerongkongan", "Bukan Perang Ideologi", dan "Der untergang Des Abendlandes". Sementara itu, resensi berjudul "Djerman versus Rusia, Rusia versus Djerman" dimuat pertama kali di majalah Pemandangan pada 1941. Resensi-resensi tersebut kemudian dimuat ulang di dalam bukunya yang paling terkenal saat ini yaitu "Dibawah Bendera Revolusi, jilid 1 (1963)."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar