Problemnya, kritik terhadap media di Indonesia adalah sesuatu yang langka. Sulit untuk melihat atau membaca kritik media yang dilakukan dengan serius, konsisten, dan pada tahap selanjutnya: berpengaruh. Ada lapis-lapis problem yang menyebabkan kelangkaan itu terjadi, misalnya, minimnya tradisi kritik-autokritik dari pekerja media di Indonesia. Jarang sekali kita menemukan jurnalis (termasuk juga media itu sendiri) mau melakukan kritik terhadap diri mereka sendiri di depan publik. Padahal, mengkritik diri sendiri, termasuk mengakui kesalahan jika melakukannya, justru penting untuk merawat jurnalisme itu sendiri. barangkali berlebihan jika berharap media mengkritik media lain. Tapi sebenarnya ini penting untuk kebebasan pers yang sehat itu sendiri dan juga sebagai bentuk keterbukaan dan menjaga kepercayaan publik.
Tendensi anti kritik dari jurnalis dan pekerja media. Tanpa bermaksud melakukan generalisasi, kritik terhadap media sering kali ditanggapi dengan sikap defensif yang kuat. Bukannya menerima kritik, yang ada pemberi kritik akan diserang balik dan justru menjauh dari substansi kritik yang disampaikan. Tentu saja ada pengecualian, masih ada beberapa media yang terbuka dengan kritikan.
Cak Rusdi sering mengkritik apa yang menurutnya justru akan merendahkan jurnalisme. Dia juga pernah mengeluhkan atas partisannya jurnalis dan media pada 2014 lalu. Ironisnya, banyak teman-temannya sendiri yang melakukan hal tersebut. Sikap yang partisan dan dilakukannya tanpa malu-malu adalah bom waktu yang membuat jurnalisme pelan-pelan bisa kehilangan kepercayaan publik. Ketika kepercayaan publik hilang maka esensi jurnalisme untuk melayani kepentingan publik juga mengabur. Dia juga pernah bercerita tentang jurnalis-jurnalis muda. Dia tidak segan memuji dan menceritakan berulang-ulang jika ada jurnalis muda yang pernah menjadi anak buahnya bekerja dengan gigih. Tapi dia juga gampang marah jika jurnalis-jurnalis muda tidak memiliki kegigihan sebagaimana yang dimiliki oleh jurnalis di generasinya.
Jika muncul pertanyaan, mengapa publik tidak percaya kepada media dan wartawan atau mengapa berita media hari ini sulit dipercaya oleh publik, jawabannya tentu saja tidak mudah. Bukan hanya di Indonesia, fenomena semacam ini terjadi dimana-mana, termasuk di Amerika Serikat, Inggris, Australia. Beberapa survei yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kepercayaan publik kepada berbagai profesi misalnya, menunjukkan profesi wartawan (media) sebetulnya sudah sekarat di mata publik, dan itu sudah berlangsung setidaknya beberapa tahun yang lalu. Gallup, lembaga survei ternama di Amerika, melakukannya beberapa kali dan hasilnya tetap sama: Wartawan bukan profesi yang dipercaya publik.
Hasil survei Gallup beberapa tahun yang lalu menunjukkan, dari 21 profesi yang paling dipercaya oleh publik Amerika Serikat dalam penerapan standar etika, menempatkan perawat diurutan pertama, disusul petugas farmasi, dokter, guru SMA, opsir polisu, klerus, petugas pemakaman, akuntan dan baru wartawan. Bagi wartawan harusnya hasil survei Gallup itu sesuatu yang menggembirakan karna survei sebelumnya justru tidak menempatkan wartawan di daftar profesi yang dipercaya, menyusul gelombang kampanye untuk tidak percaya media arus besar, yang di dalamnya bekerja banyak wartawan.
Di Selandia baru, wartawan juga ditempatkan di urutan paling bawah dari 10 profesi yang dipercaya publik. Sekitar lima tahun sebelumnya, tiga ribuh warga Inggris yang dimintai pendaptnya oleh sebuah bank nasional, juga mengganggap wartawan sebgai profesi yang tidak bisa dipercaya. Dimuat di situs jurnalism, peserta survei menempatkan wartawan di kelompok tiga besar profesi yang paling tidak bisa dipercaya, bersama politisi dan bankir.
Mengherankan ?
Tentu tidak.
Profesi wartawan memang telah sekarat bukan karna telah ditusuk oleh profesi lain, tapi karna ditikam oleh wartawan itu sendiri. Media tempat wartawan bekerja, ikut mempercepat profesi wartawan menuju kematiannya dengan tanpa anestesi, karna hanya bersedia menggaji wartawan dengan upah yang sama dan bahkan biasa lebih rendah, sambil meminta wartawannya menadahkan tangan mencari sumber penghasilan bagi perusahaan. Media lalu tidak ubahnya pabrik kerupuk dan wartawan mirip pembunuh bayaran karena bersedia menjadi corong kepentingan tertentu dengan upah tertentu.. Miriskan....!!
BERSAMBUNG..............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar